Jumat, 17 Oktober 2025

Menemukan Suara Lampung: Perjalanan Seorang Pengelana dan Nada yang Tak Pernah Padam



Ada yang berbeda dari perjalanan saya kali ini ke Lampung. Awalnya, saya hanya ingin menikmati pantai dan kuliner khasnya secangkir kopi robusta di sore hari, sunset di Pahawang, atau jalan-jalan ke Lembah Batu Brak. Tapi tak disangka, justru sebuah suara dari kejauhan membuat langkah saya berhenti.

Suara itu bukan debur ombak, bukan pula musik pop dari kafe. Ia datang dari sekelompok anak muda yang sedang berlatih memainkan alat musik aneh berbentuk papan kayu dengan dawai logam bergetar lembut.

“Gamolan,” kata seseorang di samping saya, tersenyum melihat wajah heran saya. “Alat musik tradisional Lampung.”

Dan di sanalah saya pertama kali mendengar nama Erizal Barnawi, sosok yang disebut-sebut sebagai penggerak yang membuat musik tradisional Lampung kembali bergema.

Jejak Suara di Tanah Sai Bumi Ruwa Jurai

Saya menelusuri jejaknya ke sebuah sanggar bernama Barnawi Ensemble, yang terletak tak jauh dari pusat kota Bandar Lampung. Tempat itu sederhana tapi hangat. Dindingnya dihiasi alat musik tradisional: gamolan, kulintang, gendang, pepetuk, dan beberapa alat lain yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

Anak-anak muda berdatangan, membawa semangat di mata mereka. Beberapa di antaranya masih berseragam sekolah. Mereka datang bukan untuk bermain musik modern, melainkan untuk mempelajari nada-nada yang diwariskan dari leluhur mereka.

Di tengah ruangan, saya melihat Erizal Barnawi, S.Sn., M.Sn. Seorang pria dengan tatapan teduh dan tangan yang lincah menabuh ritme di atas gamolan. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengerti: dia bukan sekadar guru musik, tapi jiwa yang menjaga agar budaya ini tetap bernapas.

“Kalau bukan kita yang jaga,” katanya sambil tersenyum, “Siapa lagi yang mau mendengarkan suara Lampung?”

PEMUDA LAMPUNG: Saat Musik Menjadi Gerakan

Dari perbincangan singkat itu, saya tahu bahwa apa yang dilakukan Barnawi bukan sekadar pelatihan seni. Ia menjalankan sebuah gerakan bernama PEMUDA LAMPUNG: Pelatihan Musik Tradisional Lampung. Gerakan ini menghidupkan kembali musik tradisional dengan cara paling sederhana namun paling efektif: mengajarkan langsung kepada generasi muda.

Banyak kegiatan yang telah dilakukan, salah satu kegiatannya di Desa Rejosari, Kecamatan Seputih Mataram. Di aula kecil, anak-anak remaja duduk berjejer, memegang alat musik masing-masing. Barnawi dan timnya mengajarkan tiga tabuhan: Layang Kasiwan, Alau-Alau, dan Semerdung Serlia. Awalnya, bunyi-bunyian itu terdengar berantakan, tapi perlahan irama mereka menyatu seperti aliran sungai yang menemukan jalannya kembali ke laut.

Nada yang Menyeberang Laut

Tak berhenti di desa-desa, Barnawi membawa musik Lampung ke panggung dunia. Ia pernah tampil di Thailand, Mesir, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Singapura. Saya sempat melihat salah satu rekamannya di YouTube panggung sederhana, tapi suara gamolan itu menggema dengan megah. Para penonton mancanegara tampak terpukau, dan di situ saya berpikir: betapa luar biasanya, suara dari tanah kecil di ujung Sumatra bisa mengguncang hati orang dari benua lain.

Barnawi menjelaskan bahwa tujuan utamanya bukan ketenaran, melainkan menunjukkan bahwa tradisi bisa berdialog dengan dunia.

“Musik itu bahasa universal,” katanya. “Dan setiap daerah punya aksennya sendiri. Lampung juga.”

Mengajar dengan Cinta, Menginspirasi dengan Ketulusan

Ketulusan tim Barnawi saat mereka berkunjung ke SMA Negeri 1 Kotabumi semakin menampakkan sinarnya. Kali ini, mereka tidak hanya memberi pelatihan, tapi juga menghibahkan alat musik tradisional kepada sekolah. Saya melihat bagaimana wajah-wajah siswa berubah dari ragu menjadi antusias.

Saat gamolan pertama kali diketuk, ruangan itu seperti hidup. Nada-nada kayu yang lembut berpadu dengan tawa anak-anak yang mencoba menyesuaikan tempo.

Bagi Barnawi, musik tradisional bukan nostalgia, melainkan cara untuk menumbuhkan identitas.

“Ketika anak-anak belajar musik daerahnya,” ujarnya, “Mereka sebenarnya sedang belajar mencintai dirinya sendiri.”

Dari Lampung untuk Indonesia

Usaha tanpa lelah itu akhirnya mendapat pengakuan nasional. Pada tahun 2024, Erizal Barnawi dianugerahi Apresiasi SATU Indonesia Awards (Provinsi & Nasional) dalam kategori Pendidikan, berkat dedikasinya menghidupkan Pelatihan Musik Tradisional Lampung (PEMUDA LAMPUNG).

“Penghargaan itu bukan akhir,” katanya pelan. “Itu pengingat. Bahwa masih banyak suara yang belum sempat kita dengar di desa-desa Lampung.”

Suara yang Tak Akan Padam

Saya memejamkan mata, dan untuk sesaat, saya merasa Lampung berbicara kepada saya lewat musiknya. Bukan lewat kata-kata, tapi lewat ritme yang jujur: bahwa setiap tradisi, setiap nada, punya jiwa yang menunggu untuk ditemukan.

Dan mungkin, perjalanan saya ke Lampung bukan sekadar liburan. Mungkin ini adalah pertemuan antara seorang pengelana dan suara yang menolak padam.

Di tanah Lampung, saya belajar bahwa budaya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu seseorang untuk kembali mendengarnya.


Menemukan Suara Lampung: Perjalanan Seorang Pengelana dan Nada yang Tak Pernah Padam

Ada yang berbeda dari perjalanan saya kali ini ke Lampung. Awalnya, saya hanya ingin menikmati pantai dan kuliner khasnya secangkir kopi rob...